
Kronologi Santri Asal Aceh Kabur dari Pesantren di Medan, Tak Sanggup Dibully Senior
Kronologi santri asal Aceh kabur dari pesantren tempat ia menuntut ilmu di Medan setelah diduga mengalami perundungan (bullying) dari seniornya. Peristiwa ini menarik perhatian banyak pihak, terutama terkait dengan kondisi mental dan emosional santri di lingkungan pendidikan agama yang ketat.
Awal Kejadian
Santri yang diketahui berinisial M, berusia 17 tahun, datang ke pesantren di Medan beberapa bulan lalu dengan harapan dapat memperdalam ilmu agama. Namun, ia mengalami tekanan berat setelah beberapa senior di pesantren mulai melakukan perundungan secara fisik dan verbal. Perundungan yang dialami M semakin intensif, mulai dari hinaan, ejekan, hingga perlakuan fisik yang membuatnya merasa tidak aman.
Tak Sanggup Menahan Tekanan
Menceritakan pengalamannya, M mengungkapkan bahwa perundungan tersebut membuatnya merasa tertekan dan terisolasi. “Saya merasa takut dan tidak bisa tidur karena selalu dibuli. Rasanya sangat berat, saya tidak sanggup lagi bertahan,” ujar M dengan suara gemetar saat diinterogasi oleh pihak berwajib. Tak tahan dengan perlakuan yang diterimanya, M akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari pesantren pada malam hari.
Mencari Perlindungan
Setelah kabur, M mencari perlindungan dan bersembunyi di rumah temannya yang berada di Medan. Ia menghubungi keluarganya di Aceh dan menceritakan kejadian yang dialaminya. Pihak keluarga kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib, yang langsung melakukan pencarian dan berhasil menemukan M beberapa hari kemudian.
Reaksi Pihak Pesantren dan Pemerintah
Pihak pesantren segera memberikan klarifikasi setelah kaburnya M diketahui publik. Mereka mengaku tidak mengetahui adanya perundungan yang dialami oleh M, dan berjanji akan melakukan investigasi internal untuk menyelidiki kejadian tersebut. Pihak pesantren juga menyatakan akan memberikan pembinaan bagi santri-santri yang terlibat dalam perundungan tersebut.
Sementara itu, pemerintah setempat mengutuk keras perundungan di lingkungan pendidikan dan berjanji akan menindaklanjuti laporan dari pihak keluarga. “Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Medan, Siti Nurhayati.
Harapan untuk Masa Depan
Peristiwa ini menjadi peringatan bagi banyak pihak terkait pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung bagi semua santri. Diharapkan kejadian ini dapat membuka kesadaran akan bahaya perundungan yang bisa memengaruhi kesehatan mental dan fisik para santri. Semoga, kedepannya, pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya bisa lebih memperhatikan kesejahteraan dan perkembangan emosional santri agar tidak ada lagi kasus serupa.
Kini, M telah kembali ke Aceh dan tengah mendapatkan pendampingan psikologis untuk pemulihan mentalnya. Kejadian ini menyadarkan banyak pihak bahwa pendidikan yang baik haruslah bersifat menyeluruh, termasuk perhatian terhadap kesejahteraan mental dan emosional para siswa.